RESUME
ILMU HADIS
Diajukan untuk memenuhi tugas Individu
Mata kuliah : Pengantar Ilmu Hadis
Dosen Pengampu: Muslihudin, M.Ag.
Disusun Oleh :
Ririn Rianingsih
NIM : 143111320123
TARBIYAH / PBI-B / I
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
BAB I
PENGERTIAN HADIS, SUNAH,
KHABAR, DAN ATSAR
1.
PENGERTIAN
HADIS
Menurut ahli hadis, pengertian hadis adalah :
“Seluruh
perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
menurut yang lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.”
Sebagian Muhadisin berpendapat bahwa hadis itu tidak terbatas
pada apa yang di sandarkan kepada Nabi SAW. (Hadis Marfu) saja, melainkan
termasuk didalamnya segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (Hadis
Maqtu’).
2. PENGERTIAN SUNAH
Menurut ahli hadis :”Segala sesuatu yang berhubungan dengan sirah
(perjalanan hidup) Nabi SAW. , budi pekerti, berita, perkataan, dan perbuatannya
baik melahirkan syara’ atau tidak.” Mereka mendefinisikan sunah diatas
karena memandang diri Rasul sebagai uswatun
hasanah (contoh / teladan yang baik).
3. KHABAR DAN ATSAR
Khabar
menurut
bahasa adalah semua berita yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sebagian ulama mengatakan
bahwa khabar adalah sesuatu yang datang, selain dari Nabi
Muhammad SAW. Adapun atsar berdasarkan
bahasa sama pula artinya dengan khabar , hadis
dan sunah. Yaitu sesuatu yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW. , Sahabat,
dan tabiin.
Dari keempat pengertian diatas tentang
hadis, sunah, khabar, dan atsar dapat
ditarik kesimpulan bahwa keempat istilah tersebut pada dasarnya memiliki
kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang dating dari Nabi Muhammad SAW., baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.
BAB
II
BENTUK-BENTUK
HADIS
1)
HADIS
QAULI
Yang dimaksud
dengan hadis qauli adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan
keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contoh
hadis qauli yaitu hadis tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat, yaitu : “Tidak sah shalat seseorang yang tidak
membaca Ulummul Qur’an (Al-Fatihah).”
2)
HADIS
FI’LI
Yaitu hadis yang
menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Yang sampai kepada kita. Seperti hadis
tentang shalat, yaitu : “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3)
HADIS
TAQRIRI
Yaitu hadis yang
menyebutkan ketetapan Nabi SAW. Terhadap apa yang datang dari sahabatnya.
Contohnya ialah sikap Rasulullah SAW. Membiarkan para sahabatnya melaksanakan
perintahnya. “Janganlah seseorang pun
shalat ashar, kecuali bila tiba di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari).
4)
HADIS
HAMMI
Yaitu hadis yang
menyebutkan keinginan Nabi Muhammad SAW. Yang belum terealisasikan, seperti
halnya keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura.
5)
HADIS AHWALI
Yang dimaksud
dengan hadis ahwali adalah hadis yang
menyebutkan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang menyangkut keadaan fisik,
sifat-sifat, dan kepribadiannya. “Rasulullah
SAW. Bukanlah orang yang melampaui batas dan suka berkata kotor. Bahkan beliau
bersabda, “Sebaik-baiknya kamu adalah sebaik akhlakmu.” (HR. Bukhari)
BAB
III
PENGERTIAN
ILMU HADIS
Yang
dimaksud dengan ilmu hadis adalah : “Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW. Dari segi hal ihwal para
perawinya, yang menyangkut kedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung
dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”selanjutnya ulama mutakhirin, mebagi ilmu hadis menjadi
dua, yaitu Ilmu hadis riwayah dan Ilmu hadis dirayah.
a)
ILMU
HADIS RIWAYAH
Yang dimaksud
dengan ilmu hadis riwayah, ialah : “Ilmu pengetahuan yang mempelajari
hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya.” Adapun faedah
mempelajari ilmu hadis riwayah adalah
untuk menghindari adanya penukilan yang salah sehingga tidak sesuai dengan
sumbernya yang pertama, yaitu Nabi Muhammad SAW.
b)
ILMU
HADIS DIRAYAH
At-Turmudzi
mendefinisikan ilmu ini dengan : “Kaidah-kaidah
untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan,
sifat-sifat perawi, dan lain-lain.” Ajjad Al-khatib mendefinisikan Ilmu
Hadis Dirayah yaitu : “Kumpulan kaedah
dan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi (sanad dan matan) dari segi
maqbul dan mardudnya. (diterima dan ditolaknya).”
Adapun yang
dimaksud dengan Rawi adalah orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadis.
Sedangkan yang dimaksud marwi adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Atau sahabat atau tabi’in. Dan faedah mempelajari ilmu ini adalah
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa,
yaitu sejak masa Rasulullah SAW. Sampai dengan masa sekarang, mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis
lebih lanjut, dan dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan criteria
hadis sebagai pedoman dalam masyarakat.
BAB IV
CABANG-CABANG ILMU HADIS
1)
ILMU RIJAL
AL-HADIS
Yaitu : “Ilmu
untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi
hadis.”
2)
ILMU AL-JAHR WA
TA’DIL
Ilmu ini mempelajari kecacatan
perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya.
3)
ILMU TARIKH
AR-RUWAH
ilmu
ini berfungsi untuk memperhatikan kelahiran dan wafat para perawi dan melalui
sifatnya, berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal perawi.
4)
ILMU
‘ILAL AL-HADIS
“Ilmu
yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan
hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis yang muntqati, menyebut
marfu’ terhadap hadis mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain, dan hal-hal
yang seperti itu.”
5)
ILMU AN-NASIKH
WA AL-MANSUKH
:“Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang berlawanan yang tidak dapat
dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan
yang dating kemudian dinamakan nasikh.”
6)
ILMU ASBAB WURUD
AL-HADIS
ilmu asbab wurud
al-hadis adalah ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW.
7)
GHARIB
AL-HADIS
:“Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna
yang terdapat pada lafal-lafal hasis yang jauh dan sulit dipahami karena
(lafal-lafal tersebut) jarang digunakan.”
8)
ILMU AT-TASHIF
WA AT-TAHRIF
Ilmu
at-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan
Hadis-hadis yang sudah diubah titik atau asyakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf).
9)
ILMU
MUKHTALIF AL-HADIS
“Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang
menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut
dapat dihilangkan dan dikompromikan antara keduanya sebagaimana membahas
hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan
kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya
BAB
V
UNSUR-UNSUR
POKOK HADIS
1)
SANAD
Sanad menurut
bahasa yaitu sandaran atau sesuatu
yang dijadikan sandaran. Al-Badru bin Jamaah dan At-Tiby mengatakan bahwa sanad adalah :“Berita tentang jalan matan.”Ada juga ulama yang mendefinisikan : “Silsilah para perawi yang menukilkan hadis
dari sumbernya yang pertama.”
2)
MATAN
Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a
min al-ardi (tanah yang meninggi)., sedangkan menurut istilah : “Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.”.Atau
dengan redaksi lain : “Lafal-lafal hadis
yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu.”
Ada juga redaksi
yang lebih sederhana lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad.
Dari semua pengertian diatas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan ialah materi hadis atau lafal hadis
itu sendiri.
3)
RAWI
Kara rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqi al-hadis). Sebenarnya sanad dan
rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada
setiap tabaqahnya juga disebut rawi. Jika yang dimaksud rawi adalah orang yang
meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan tetapi, yang membedakan antara rawi
dan sanad terletak pada pembukuan atau pen-tadwin-an hadis. Orang yang menerima
hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab disebut perawi. Dengan
demikian, maka perawi disebut Mudawwin (orang
yang membukukan dan menghimpun hadis).
BAB
VI
KEDUDUKAN
HADIS
SEBAGAI
SUMBER HUKUM
1)
DALIL
AL-QUR’AN
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya. Serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa:136)”
Pada
surat An-Nisa ayat 136 Allah menyeru kaum muslimin agar beriman kepada Allah,
Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Selain
memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasulullah SAW. Allah juga
menyerukan agar umatnya menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang
dibawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Seperti dalam firman Allah
SWT. Surat Ali Imran ayat 32 :
“Katakanlah,
taatilah Allah dan Rasul-Nya : Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.”
2)
DALIL
AL-HADIS
Dalam salah satu pesan Rasulullah
SAW. Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup
disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Dalam sabdanya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian,
dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” (HR. Hakim).
3)
KESEPAKATAN
ULAMA (IJMA’)
Umat
islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum dalam amal
perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah.
4)
SESUAI
DENGAN PETUNJUK AKAL (IJTIHAD)
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. Telah
diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Maka sudah selayaknya apabila segala
peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau
ciptakan atas bimbingan wahyu atau hasil ijtihad semata ditempatkan sebagai
pedoman hidup dan sumber hukum.
BAB
VII
FUNGSI HADIS
TERHADAP AL-QUR’AN
1)
BAYAN
AT-TAQRIR
Yang dimaksud
dengan bayan adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam
Al-Qur’an. Contohnya Diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar , sebagai berikut : “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka
berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR.Muslim).
Hadis ini men-taqrir ayat Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 185 :“ ….maka barang siapa yang mempersaksikan pada
waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa……”
2)
BAYAN
AT-TAFSIR
Yang dimaksud
dengan bayan at-tafsir adalah
memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang masih mutlaq,dan memberikan taqsis (penentuan khusus) terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum.
3)
BAYAN
AT-TASYRI’
Yang dimaksud
dengan bayan at-tasyri’ adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Merupakan Hadis Rasulullah SAW yang mencakup segala bentuk (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri).
Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para
sahabat atau yang tidak diketahuinya.
4)
BAYAN AN-NASAKH
Kata an-Naskh dari segi bahasa memiliki
bermacam-macam arti, yaitu al-itbal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan) , at-tahwil (memindahkan) , atau at-taqyir (mengubah). Menurut ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan
an-Nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang
dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.
BAB
VIII
PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN
HADIS
PADA MASA RASULULLAH SAW
1)
CARA
RASUL MENYAMPAIKAN HADIS
Ada
suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu
umat islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW. Sebagai
sumber hadis.
Ada
beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan hadis kepada
para sahabat, yaitu :
1)
Melalui para jamaah yang berada di pusat
pembinaan atau majelis al-ilmi.
2)
Rasulullah Menyampaikan hadis melalui
sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
3)
Melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka.
2)
PERBEDAAN
PARA SAHABAT DALAM MENGUASAI HADIS
Para sahabat tidak memiliki kadar
perolehan dan penguasaan hadis yang sama antara satu dan lainnya. Yaitu :
1)
Perbedaan mereka dalam soal kesempatan
bersama Rasulullah SAW.
2)
Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu
bersama Rasulullah SAW.
3)
Perbedaan mereka dalam soal kekuatan
hapalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
4)
Perbedaan mereka dalam waktu masuk islam
dan jarak tempat tinggal mereka dari Majelis Rasulullah SAW.
3)
MENGHAPAL
DAN MENULIS HADIS
a).
Menghapal Hadis
b).
Menulis hadis
c). Para Ulama Men-taufiq-kan Dua
Kelompok Hadis yang Kelihatannya Kontradiksi
BAB
IX
PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN
HADIS
PADA MASA SAHABAT
1)
MENJAGA
PESAN RASULULLAH SAW
Pada masa
menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah SAW. Berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis serta mengajarkannya kepada orang lain
2)
BERHATI-HATI
DALAM MERIWAYATKAN DAN MENERIMA HADIS
Perhatian
para sahabat pada masa ini terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan
Al-Qur’an. Ini terbukti dengan dilakukannya pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar atas saran Umar bin Khaththab. Usaha pembukuan ini dilakukan pula pada
masa Usman bin Affan, sehingga melahirkan
mushaf Al-Usmani . Satu disimpan di Madinah dan dinamai mushaf Al-Imam, dan empat buah lagi di
simpan di Mekah, Basrah, Siria dan Kuffah. Namun, sikap memusatkan perhatian
terhadap Al-Qur’an tidak berarti bahwa mereka lalai dan tidak menaruh perhatian
terhadap hadis. Mereka tetap memelihara hadis seperti halnya hadis-hadis yang
diterimanya dari Rasulullah SAW. Secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan
tetapi, dalam meriwayatkannya mereka sangat hati-hati dan membatasi diri.
Karena khawatir akan terjadi kekeliruan pada hadis.Pada masa ini belum ada
usaha untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab,seperti halnya Al-Qur’an. Hal
ini disebabkan agar umat islam tidak memalingkan perhatian mereka dalam
mempelajari Al-Qur’an.
3)
PERIWAYATAN HADIS DENGAN LAFAL DAN MAKNA
Ada dua jalan yang ditempuh para
sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW. Pertama dengan jalan
periwayatan lafzhi dan kedua dengan
jalan periwayatan maknawi.
BAB X
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HADIS PADA MASA TABI’IN
1)
PUSAT-PUSAT
PEMBINAAN HADIS
Pusat
pembinaan hadis pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW. Menetap
setelah hijrah. Disini pula Rasulullah SAW. Membina masyarakat islam yang
terdiri atas Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini
, diantaranya Khulafa Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin
Umar, dan Abu Sa’id Al-Khudzri serta para pembesar tabi’in, seperti Sa’id bin
Al-Musyayab, Urwah bin Az-Zubair, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Ubaidullah bin Utsbah
bin Mas’ud dan Salim bin Abdillah bin Umar.
2)
PERGOLAKAN
POLITIK DAN PEMALSUAN HADIS
Pergolakan
politik ini terjadi pada masa sahabat, setelah tejadinya perang jamal dan
perang Siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi,
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam
kedalam beberapa kelompok (Khawarij,
Syiah, Muawiyah, dan golongan mayoritas yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok tersebut). pengaruh yang langsung dan bersifat negative ialah
munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing
kelompok. Adapun pengaruh positufnya adalah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan
dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
BAB XI
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HADIS PADA MASA KODIFIKASI
Yang dimaksud
dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis
pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala
Negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak
seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan
pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
1). LATAR BELAKANG MUNCULNYA
PEMIKIRAN USAHA KODIFIKASI
Alasan
yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk mengambil sikap seperti ini adalah:
1)
Khawatir hilangnya hadis-hadis dengan
meninggalnya para ulama di medan perang.
2)
Khawatir akan tercampurnya antara
hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu.
2). GERAKAN MENULIS HADIS PADA
KALANGAN TABI’IN DAN TABI’IT TABI’IN
Seorang ulama ahli hadis yang
berhasil menyusun kitab tadwin yang
bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (W. 93-179 H) di
Madinah, dengan kitabnya yang berjudul Al-Muwatha’
. kitab tersebut disusun pada tahun 143 H. Dan para ulama menilainya
sebagai kitab tadwin yang pertama.
BAB XII
MASA SELEKSI DAN PENYEMPURNAAN
SERTA PENGEMBANGAN
SISTEM PENYUSUNAN KITAB HADIS
1)
MASA
SELEKSI
Masa seleksi atau penyaringan hadis
terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak
masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Kitab-kitab Induk yang Enam (kutub As-sittah)
Al-Jami
Ash-Shahih susunan Al-Buqhori ;Al-Jami Ash-Shahih susunan muslim ;As-Sunan
susunan Abu Dawud ;As-Sunan susunan Tirmidzi ;As-Sunan susunan Nasai ,As-Sunan
susunan Ibnu Majah.
Menurut sebagian ulama urutan-urutan
ini berdasarkan urutan kualitasnya, meskipun ada yang mempersoalkan apakah yang
pertama itu adalah karya Bukhari atau karya muslim. Begitu juga halnya dengan
urutan lainnya.
2) MASA PENGEMBANGAN DAN PENYEMPURNAAN
SISTEM PENYUSUNAN KITAB-KITAB HADIS
Penyusunan pada masa ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang
sudah ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Sahih Bukhari dan Muslim.
Masa perkembangan hadis ini berlangsung lama, yaitu mulai abad ke-4 hijriah dan
terus berlangsung hingga beberapa abad berikutnya sampai abad kontenporer.
Dengan demikian, masa perkembangan ini melewatu dua fase sejarah perkembangan
islam, yakni fase pertengahan dan modern
BAB XIII
PEMBAGIAN HADIS
DITINJAU DARI
SEGI KUANTITASNYA
1)
HADIS MUTAWATIR
a.
Pengertian Hadis Mutawatir
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta.”
b.
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
·
Diriwayatkan oleh sejumlah besar Perawi
·
Adanya keseinbangan antarperawi pada thabaqat
(lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya
·
Berdasarkan tanggapan pancaindra
c) Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis
mutawatir itu terbagi menjadi dua : yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir
ma’nawi. Sebagian ulama lainnya dibagi menjadi tiga : yaitu hadis mutawatir
lafzhi, ma’nawi dan amali.Berat dan ketatnya criteria hadis ini menjadikan
jumlah hadis ini sangat sedikit.
d) Faedah Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir
memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan
yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan
yang qaht’I (pasti).
2)
HADIS AHAD
a) Pengertian Hadis
Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi
bahasa berarti satu, maka khabar ahad atau khabar wahid berarti suatu berita
yang disampaikan oleh satu orang.
b) Pembagian Hadis
1) Hadis Masyhur
Adapun menurut
bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’. Menurut istilah yaitu :
“Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi
lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.”
2) Hadis Ghairu Masyhur
a) Hadis Aziz
“Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam
semua thabaqat sanad.”
b) Hadis Garib
Hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang
meriwayatkan. Hadis garib digolongkan menjadi dua, yaitu :
BAB XIV
PEMBAGIAN HADIS
DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA
1)
Hadis
Maqbul
“Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.”
2)
Hadis
Mardud
“Hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.”
3)
Hadis
Sahih
“Tidak
diterima periwayatan suatu hadis, kecuali berasal dari orang-orang yang tsiqat,
tidak diterima periwayatan yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang
ditolak kesaksiannya.”
1). Sanadnya bersambung
1)
Perawinya
adil
2)
Perawinya
Dhabit
3)
Tidak
Berillat
4)
Hadis
Hasan
“Hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung
sanadnya, tidak mengandung illat (cacat) dan tidak syadz (janggal).”
5)
Hadis
Dhaif
“Hadis
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat tidak sahih dan syarat-syarat
hadis hasan”
a)
Dhaif
dari Segi Persambungan Sanadnya
·
Hadis Mursal
·
Hadis Munqati’
·
Hadis Mu’da !
b)
Dhaif
dari segi sandarannya
·
Hadis Mauquf
·
Hadis Maqtu’
c)
Dhaif dari segi-segi lainnya
Kedhaifan
karena kecacatan terjadi
·
Hadis Munkar
·
Hadis Matruk
·
Hadis Syadz
·
Hadis Maqbul
BAB XV
HADIS MAUDU’
1)
PENGERTIAN HADIS MAUDU
“Hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW. Secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan
dan tidak memperbuatnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
hadis maudu’ ialah hadis yang dibuat-buat.”
2. LATAR
BELAKANG MUNCULNYA HADIS MAUDU’
1)
Pertentangan Politik
2)
Usaha Kaum Zindiq
3)
Sikap Fanatik Buta terhadap Bangsa,
Suku, Bahasa, Negeri, dan Pimpinan
4)
Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan
Nasihat
5)
Perselisihan dalam fiqih dan ilmu kalam
6)
M embangkitkan Gairah Beribadah, Tanpa
Mengerti Apa yang dilakukan.
7)
Menjilat Penguasa
3). KAIDAH-KAIDAH UNTUK MENGETAHUI
HADIS MAUDU’
1)
Atas
dasar pengakuan para pembuat hadis palsu
2)
Maknanya
rusak
3)
Matannya
bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Al-Qur’an atau
hadis yang lebih kuat atau ijma’.
4)
Matannya
menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang
sangat besar atas perkara kecil.
5)
Perawinya
dikenal seorang pendusta
BAB XVI
PENERIMAAN HADIS
1)
PENERIMAAN PERIWAYATAN HADIS OLEH
ANAK-ANAK, ORANG KAFIR, DAN ORANG FASIK
Penerimaan periwiyatan suatu
hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap syah apabila
periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain ketika ia sudah
mukallaf. Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu
bagi anak yang diperbolehkan ber-tahamul,
tetapi lebih menitikberatkan pada ke-tamyiz-an
mereka. Namun mereka juga berbeda dalam menentukan ke-tamyiz-an tersebut. Ada yang mengatakan bahwa seorang anak dapat
dikategorikan tamyiz apabila ia sudah
mampu membedakan antara al-baqar dan al-himar, seperti diungkapkan oleh
Al-Hafizh bin Musa bin Harun Al-Hammal. Menurut Imam Ahmad , bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghapal
yang didengar dan mengingat hapalannya. Ada juga yang mengatakan bahwa ketamyizan
itu bukan dilihat berdasarkan usia mereka, tetapi dilihat dari segi apakah ia
memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak.
Mengenai penerimaan hadis
bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis sepakat untuk
menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat
mereka telah masuk islam dan telah bertobat. Alasan yang mereka kemukakan
adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang
mendengar sabda Nabi Muhammad SAW.
2)
CARA PENERIMAAN HADIS
a)
As-Sima’
b)
Al-Qiraah
Asy-Syekh
c)
Al-Ijazah
d)
Al-Munawalah
e)
Al-Mukatabah
f)
Al-Ilam
g)
Al-Wasiyah
h)
Al-Wajadah
BAB XVII
PERIWAYATAN HADIS
Beberapa
syarat bagi periwayatan hadis, yakni :
1)
ISLAM
Seorang
perawi harus muslim, menurut ijma’ periwayatan
orang kafir dianggap tidak syah. Terhadap perawi yang seorang fasik saja kita
disuruh ber-tawaquf, maka terlebih lagi terhadap perawi yang kafir.
2)
BALIG
Ialah
perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis walaupun penerimaannya itu
sebelum balig. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. ;
“Hilanglah
kewajiban menjalankan syariat Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai
dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi.”
3)
‘ADALAH
Ialah
suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap taqwa, menjaga
kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal0hal yang mubah
yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.
4)
DHABIT
Yang
dimaksud Dhabit adalah :
“Teringat
/ terbangkitnya perawi ketika ia mendengar hadis dan memahami apa yang
didengarnya serta dihapalnya sejak ia menerima sampai menyampaikannya.”
Cara untuk
mengetahui ke-dhabit-an perawi adalah dengan jalan I’tibar terhadap
berita-beritanya dengan yang tsiqat dan member keyakinan
DAFTAR
PUSTAKA
Mudasir,H
1999. Ilmu Hadis. Bandung : CV.
Pustaka Setia.
Haturnuhun teteh..
BalasHapus